Perjanjian Sakral diatas Tanah Negeri
by: Choirun Nisa Ristanty
Universitas Negeri Malang
Komunitas IYE (Inspiring Youth Educators)
(Pemenang 5 besar cerpen Pena Brawijaya)
Berbicara mengenai pendidikan, tak melulu soal bangku, seragam, pensil dan buku. Pendidikan bukan hanya milik orang-orang borjuis yang faham betul betapa pendidikan diperlukan untuk bekal bertahan hidup. Pendidikan juga hak milik orang-orang termarginalkan termasuk anak-anak yang tinggal di kawasan Gading Kulon, Dau, Malang.
Saya terhenyak tak percaya, Kota Malang yang sekarang menjadi padat dan panas ternyata menyimpan surga dibalik kegarangannya. Sayang seribu sayang, disana terhempas cerita yang membuat miris bagi mereka yang giat terhadap dunia pendidikan, termasuk saya.
Desa Gading Kulon adalah Desa yang sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup melalui pertanian dan perkebunan. Bapak-bapak pergi ke ladang, sedang istrinya jadi pahlawan devisa di luar negeri. Anak-anaknya jadi terlantar, mereka enggan pergi ke sekolah. Yang tertinggal hanya eyang kakung dan eyang putri yang masih rajin meladang, Cucu-cucunya sibuk merokok, bermain dan kebut-kebutan sepeda motor. Lebih miris lagi, gadis-gadis perawan menikah muda. Ada beberapa remaja yang masih berumur 14 tahun tetapi sudah tiga kali bercerai dan empat kali menikah. Miris memang, tetapi saya dan teman-teman yang berada di komunitas IYE (Inspiring Youth Educators), yakni komunitas pendidikan di Kota Malang tidak tinggal diam. Kita tidak hanya urun angan, tetapi turun tangan.
Tuhan memang Mahabesar, Dia memberikan jalan yang terbaik bagi kami. Penasehat IYE yakni eyang Wiwiek Joewono dari Sanggar Cendekia ternyata memiliki sebidang tanah di Desa Gading Kulon. Tercetus sebuah ide yang menggelitik untuk memanfaatkan ladang yang belum digarap tersebut. Kami ingin menggagas Sekolah Tani bagi anak-anak Gading Kulon dengan memanfaatkan lahan tersebut.
Kabar baik datang lagi, Tuhan mempertemukan kami dengan orang-orang yang siap membantu Sekolah Tani. Mahasiswa Fakultas Pertanian UB (Universitas Brawijaya) bergabung bersama kami untuk turut mensukseskan acara Sekolah Tani yang kebetulan memiliki visi dan misi yang sama: memperkenalkan dunia pertanian untuk masyarakat desa. Memang sasaran kami berbeda, jika pihak dari UB membidik ibu-ibu PKK dan Bapak-Bapak Karang Taruna yang akan dibina mengenai ternak cacing dan kultur jaringan, maka sasaran IYE adalah anak-anak yang putus sekolah. Tujuan kami hanya satu, agar mereka dibekali pengetahuan pertanian yang cukup sehingga mereka mau meladang. Jika pemudanya saja enggan meladang, lalu jika sesepuh-sesepuh tersebut sudah tiada, siapa yang akan menjadi petani? Siapa yang akan melengkapi bahan pokok kita khususnya warga Malang? Kami ingin mereka dibentuk menjadi petani yang tidak sekadar petani biasa, tetapi petani profesional.
Setelah persiapan yang matang, kami datang untuk merealisasikan Grand Launching Sekolah Tani pada tanggal 3 Oktober 2013 lalu. Kami menyebut diri sebagai “Cuma Beda” yakni Cendekiawan Muda Berada di Desa. Anak-anak panti asuhan dan anak-anak warga kami kumpulkan di Balai Desa Gading Kulon. Bibit-bibit cabai, tomat, sayur sawi dan cabai siap tanam dibawa menuju ladang. Anak-anak diajari mengenai cara menyangkul, menyiram, menggemburkan tanah, menanam bibit dan merawat tanaman. Mungsa-mungsa dari pelepah pisang dikumpulkan, berguna untuk meminimalisir penguapan karena kondisi geografis lahan tanah yang jauh dari sumber air. Mereka menanam dengan riang, mengukur jarak tanam dengan gesit, meletakkan mungsa dengan hati-hati agar tidak merusak bakal sayur.
Eyang Wiwiek terharu sembari memberikan wejangan kepada mereka agar mau menjadi petani cilik. Kedepannya, kami akan merintis Homeschooling dan juga Sekolah Alam untuk anak-anak Gading Kulon. Bahkan, ada relawan yang bergerak di bidang pertanian yang akan membantu kami di Sekolah Tani. Beliau memiliki usaha kemat (kentang-tomat) yakni tanaman hasil persilangan antara tomat dan kentang. Nyatanya, Sekolah Tani ini mendulang sukses. Anak-anak mulai tergerak hatinya untuk membantu bapaknya di ladang.
Di atas hamparan ladang yang luas dan hijau Gading Kulon, gugusan awan memayungi saat kami membisikkan doa kepada Tuhan. Kami berharap agar lahan-lahan hijau itu tidak berubah menjadi ruko. Diiringi lagu Padamu Negeri, kami berdiri dengan gagah, menghadap gunung Arjuno dan gunung Panderman yang mengapit kami. Semua terhenyak, berikrar agar mengabdi, berbakti, dan berjanji atas seluruh jiwa raga yang kami miliki, untuk negeri tercinta, Indonesia.