Kuliah dan Perhitungan Langit
by: Restia Ningrum
the university of brawijaya
(Juara II, Pemenang Lomba Cerpen Pena Brawijaya)
“Resti, persiapannya untuk presentasi LKTI gimana? Sudah tahu kan kalau majunya besok? ” Tanya Mas Angga yang juara PIMNAS itu, kemarin sore.
“Iya. InsyaAllah beres mas.” Padahal tugas menumpuk, diajak membuat karya tulis lagi, tak apalah. Sudah memasuki semester ketiga kuliah, aku merasakan hiruk pikuk sekaligus esensinya. Mengikuti kuliah, organisasi, lembaga dakwah, juga kompetisi di luar kampus. Ya, ini semua hanya tentang ‘belajar’ dalam arti sebenarnya.
Kawan, kau pernah menarik ulur ke belakang kejadian demi kejadian di hidupmu, bagaimana kau bisa ada di tempatmu masing-masing dengan keadaan seperti sekarang?
Ini perihalku, anak seberang yang menapaki bumi tempat terjanjikannya impian. Aku baru saja dibuat takjub oleh perhitunganNya, Sang Pemilik Langit-Bumi seisinya.
Semua berawal dua tahun lalu…
“Nduk, ndak apa-apa ya belum kuliah sekarang…” Kata emak. “Iya, tahun depan saja mak.”
Tahun depan? Itu berarti ada banyak yang harus tertunda, ada sesak yang harus tertahan. Ke mana aku yang dulu sering dapat ranking pertama itu? Yang sepertinya pernah juara Olimpiade Sains itu? Ternyata, baik sakit gigi maupun sakit hati tak ada yang melebihi sakitnya gagal masuk perguruan tinggi! “Mak, aku mau kerja dulu saja..” Pintaku pada emak. “Kerja apa nduk? Kamu leren disik ae (istirahat dulu saja) di rumah. Enam tahun ngekost mbok ya sekarang temani emak di rumah dulu.”
“Tapi mak…Malu aku, jadi pengangguran di rumah.” Semoga ada jawaban yang melegakan.
“Emak ndak maksa kamu. Tapi kamu mau kerja di mana? Ke Tangerang, ikut bulik kamu?”
“Hmm.. Mungkin, kalau ada lowongan…” Jawabku menerawang. “Sudah, sekarang bantu emak ke ladang, habis itu ambil galah buat metik jambu mete..” Aku beranjak. “Baik mak.. Nanti mete-nya dijual ya?” Sebenarnya aku sempat mau tanya juga: kalau buah mete dijual, cukupkah untuk membayar uang kuliah? Tapi kuurungkan, sementara terik matahari pagi mulai berasa tidak ramah. Di ladang, pikiranku terbang ke luar sana: pagi-pagi begini, kawanku yang sudah kuliah pasti sedang seru-serunya belajar, tidak seperti aku begini.
Dulu…November 2011
Tidak betah di rumah lama, maka aku hijrah ke Tangerang: masuk PT. Perseroan Terbatas, bukan Perguruan Tinggi! “Ngati-ati ya nduk kerjanya. Ini hanya sementara, tahun depan kamu pasti bisa kuliah.” Barangkali dengan bekerja, aku akan bisa memperoleh uang untuk ‘membeli bangku kuliah’. Membeli kesempatan yang harganya mahal itu.
Baiklah, hanya karena aku merasa bersalah jika tidak melakukan apa-apa, maka ikuti saja ritme kerja yang demikian asing begini. Aku memasuki episode hidup untuk magang di pabrik sepatu di kabupaten Tangerang. Dalam benakku: Oh begini ya rupanya jadi buruh pabrik. Sepertinya baru kemarin, di kelas aku masih mempersoalkan mesin Carnot, berdebat siapa yang benar antara Aristoteles atau Francisco Redi, berkerut dahi karena integral dan trigonometri. Tapi di sini, di pabrik sepatu, tak ada lagi kilau elegansi ilmu, dan yang tidak boleh terlintas di pikiran tentu saja adalah: membayangkan seandainya ruangan besar ini berubah jadi balairung Universitas Impian ketika aku daftar ulang. Tidak boleh. Sementara di sekitarku berlalu lalang atasan dengan seragam warna kuning! Mengingatkanku pada almamater itu… Ah, sudahlah. “Eh kamu, anak baru. Antar box ini ke line 21..cepat..” Baru mulai mengerjakan satu, sudah disuruh yang lain. “Tapi kerjaan saya yang ini belum selesai.” Sungguh, merikuhkan. “Kok masih magang sudah mbantah sih?” Tampaknya ini bukan tempat yang tepat untuk kritis atau idealis. “Oh iya iya bu, maaf…” Fiuh. Sepertinya hari-hari di depan akan jadi absurd. Ah,apa-apaan ini! Aku tak percaya dengan apa yang aku kerjakan. Tapi aku ingat lagi, It’s all about struggle. Memang tidak ada korelasi antara pabrik ini dengan kuliah, tapi keduanya pasti ada irisan takdir atau semacam puzzle dari Sang Pencipta. Akan ada hari-hari pengganti yang terjanjikan itu. Aku percaya. Ini soal perhitungan langit.
Dan sekarang…November 2013
Sebagaimana masa depan yang amat gelap itu: jangankan tahun-tahun di depan, menit berikutnya saja aku tak tahu akan jadi apa. Tapi kawan, apa yang kau khawatirkan dari perhitungan langit? Tentang sederetan kejadian di hidupmu. Ini masih perihalku, atas nama diri yang menghormati guru terbaik benama pengalaman. Sekarang, aku ada di hari-hari terjanjikan itu. Sejak Juli 2012 ketika aku (akhirnya) diterima SNMPTN di Universitas Brawijaya (tentu sesudah resign dari kerja), aku mengalami banyak pembelajaran luar biasa.
Betapa Dia di Atas Sana tidak salah perhitungan. Hari di mana aku dahulu terpuruk, dimarahi atasan di pabrik sepatu itu, lunas diganti olehNya pada tanggal dan bulan yang sama dua tahun kemudian dengan suasana yang jauh beda. Ya memang ini hanya sekelumit hikmah, misal sekarang memenangkan LKTI itu hal biasa, tapi ibaratnya aku yang anak kecil bukan siapa-siapa ini, bisa kuliah saja sudah bersyukur apalagi berkesempatan diskusi bersama kakak-kakak juara PIMNAS, Mahasiswa Berprestasi, apapun itu adalah bonus: bahwa Dia selalu memberi lebih. Kawan, kalau sempat ada kesulitan di perkuliahanmu, percayalah itu tidak ada apa-apanya dibanding kesusahan anak muda yang galau, menganggur karena belum diterima kuliah di mana pun. (R.N)