12
- January
2014
Posted By : Brawijaya Mengajar
Sekolah Narapidana

Sekolah Narapidana

by: Choirun Nisa Ristanty

Universitas Negeri Malang

Komunitas IYE (Inspiring Youth Educators)

(5 besar lomba cerpen pena brawijaya)

 

Kesempatan emas ini datang tiba-tiba, sebab salah seorang teman mengetahui saya bergabung di komunitas pendidikan dan saya juga aktif memberikan les privat Bahasa Inggris. Saya diajak oleh rekan saya, Aziz untuk turut membantu mengajar di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Lowokwaru Malang dalam program pengabdian masyarakat yang digadangnya. Bukan sembarang kelas, melainkan kelas paket A, B, C, dan buta huruf bagi narapidana. Paket A bagi mereka yang belum lulus SD, paket B program bagi mereka yang belum lulus SMP dan paket C untuk mereka yang belum lulus SMA. Memang tidak banyak masyarakat yang tahu bahwasanya penjara membuka paket ini secara gratis.

Selama ini masyarakat menutup mata akan nasib narapidana yang nantinya akan kembali ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mereka enggan memikirkan nasib tahanan anak-anak yang seharusnya masih menikmati pembelajaran di kelas sembari tertawa lepas. Kehadiran kelas paket ini bagai oase bagi mereka yang rindu akan hadirnya ilmu pengetahuan. Kabar baiknya, buku dan alat tulis diberikan secara cuma-cuma. Siapa yang ingin belajar, kelas ini sangat terbuka bagi narapidana dengan kasus apapun hingga usia berapapun.

Awalnya memang bergidik ngeri membayangkan apa yang terjadi saat mengajar nanti. Materi dan peralatan mengajar sudah siap, tetapi bayangan para napi yang penuh dengan tato di lengan atau mata yang tajam menghantui fikiran saya. Penjara ternyata tak seseram yang saya pikirkan. Seketika fikiran buruk tersebut hilang saat saya masuk ke gerbang utama yang tebal dan berat. Di mata saya, lapas ini semacam perumahan seluas lima hektar berpagar tembok beton tinggi dan sipir sebagai satpamnya. Di sana dibuat blok-blok sesuai kasus terpidana. Di depan blok terawat rapi taman-taman kecil dengan air mancur minimalis. Di dalam lapas tersebut juga disediakan kantin dan warung kopi. Mereka juga diberdayakan dengan baik untuk menambah penghasilan. Kolam ikan lele, tempat budidaya jamur, bengkel, pembuatan keset dan sulam bola sepak juga disiapkan untuk memperkerjakan mereka.

Sebenarnya, program untuk belajar Paket A, B, C dan buta huruf sudah berjalan lama tetapi belum ada pengajar yang benar-benar berkompeten. Selama ini tim pengajar dari narapidana sendiri yang mau meluangkan waktu memberikan ilmu untuk teman-temannya. Setiap tahun digelar ujian secara gratis dan bagi yang lulus mendapat ijzaah langsung dari Diknas. Meski begitu, banyak yang masih belum memenuhi nilai yang dicapai, karena ilmu yang diberikan masih minim dan jauh dari standar yang dibutuhkan.

Itulah yang mendasari saya mengajar mereka. Tingkat kesulitan yang saya hadapi pun bertambah, dibandingkan mengajar anak-anak di sekolah formal. Kesan pertama mengajar agak sedikit canggung karena mereka berpakaian seadanya, bersandal japit, merokok dan menyeruput kopi saat belajar. Beberapa dari mereka berwajah garang dan badan berhias tato tetapi mereka tak segan berbagi pengalaman hidupnya yang membawanya ke dalam penjara. Ada yang terlibat kasus pencurian, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Toh semangat mereka patut diapresiasi mengingat pendidikan adalah hal esensi yang harus dienyam untuk meningkatkan kualitas hidup.

Saya mengajar pelajaran Bahasa Inggris untuk mereka. Saya bimbing mereka perlahan. Kadang saya tertawa karena mereka protes mengapa jam berjalan begitu cepat sehingga pelajaran Bahasa Inggris cepat usai. Kadang pula saya turut membantu mengajar program Buta Huruf. Di program ini saya merasakan kesedihan sekaligus haru yang luar biasa. Sedih, sebab ada sekitar lima remaja yang masih berumur belasan tahun tidak bisa membaca dan menulis. Terharu, sebab ada tiga orang kakek-kakek yang divonis seumur hidup akibat kasus pembunuhan begitu semangat mengeja alfabet dan membaca kelima sila Pancasila.

Saya tersenyum saat seorang napi menasehati napi lainnya karena jarang masuk kelas untuk belajar, “Kemana saja? Jangan bolos, biar nanti keluar dari sini jadi orang yang bermanfaat.” Jika napi saja mau belajar, kenapa kita yang bebas malah menyia-nyiakan waktu belajar hanya untuk bersenang-senang? Dari pengalaman ini pula membuat saya terbuka akan makna pendidikan. Benar jika buku yang ditulis Fachrurazzy di buku Belajar Pembelajaran tahun 1998 yang menyatakan bahwasanya esensi pendidikan seharusnya merajuk pada Longlife Education. Itu berarti, kondisi apapun dan usia berapapun, kita masih harus belajar dan terus belajar. Sekolah narapidana ini buktinya!

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply